Bahasa Diam

Discussion in 'Education' started by Rizqi Jong, Nov 15, 2015.

Tags:
  1. Rizqi Jong

    Rizqi Jong New Member

    Joined:
    Oct 6, 2015
    Messages:
    12
    Likes Received:
    3
    Trophy Points:
    3
    [​IMG]

    Mungkin sudah saatnya kita diam. Berikan aku jeda menghatamkan senyummu dalam-dalam. Karena suatu saat nanti, bibirmu akan kupotong panjang-panjang, lalu kuikatkan dari hati ke pikiran kencang-kencang.

    Kata orang sebuah hubungan selalu dimulai dengan diam. Benar, seperti itulah yang kita rasakan, bukan? Seperti saat ini, ketika kau hanya duduk diam, menyandarkan bahumu pada tembok putih yang juga diam. Sementara aku, hanya menunggu, membolak-balik buku yang sebenarnya tak ingin kubaca, sesekali kutengok matamu yang samar-samar bersinar.

    Langit mulai mendung. Angin mulai menunjukkan dirinya sebagai penguasa semesta. Akan datang badai sepertinya, kutata perasaanku tenang-tenang dan sesekali kutengok alis matamu yang bergoyang-goyang. Kau tak khawatir dengan cuaca seperti ini kita akan terus diam? Pikirku dalam hati. Sudah berapa putaran bulan-bintang dan kita hanya termangu, duduk bersama bak dua pasang patung yang menunggu berakhirnya detik jam.

    Langit di atas ubun-ubunku mulai retak. Beberapa anak petir memuncratkan bising dan cahaya yang menyilaukan mata. Kututup telingaku sekuat tenaga. Bukan suara halilintar yang kutakutkan, aku hanya berharap suaramulah yang pertama kudengarkan. Setelah itu, sungguh aku rela untuk tidak mendengar walau sepanjang zaman. Suara petir tadi mengilukan. Sembari menikmati denyut, kutengok sedikit matamu yang berkedip lalu terpejam.

    Dari arah timur tampaknya aliran air besar menyapu tanah dengan ganasnya. Pohon-pohon tinggi nan kokoh dilewatinya tanpa suara. Bumi hanya disisakan akar, sampah dan kepala manusia. Dinda, badai menuju ke arah kita! Kau tak beranjak sesenti saja agar kita mencari tempat yang lebih aman. Aku hanya bisa menutup mata. Sekarang engkaulah rajanya. Dari sela-sela jariku, kusasar hidungmu yang kembang kempis menghirup udara.

    Ya Tuhan, apalagi kini yang datang tanpa diundang. Dari arah barat muncul angin topan. Udara yang mewujud bergulung-gulung seperti ingin memintal sesuatu. Angin kini benar-benar marah dinda! Kerut-kerut di dahinya, kilatan taringnya kini akan benar-benar menyayati kulit kita. Jangankan sampai melangkahi kita, dua jengkal lebih dekat saja, tulang-tulang kita akan diremukkan tanpa sisa. Darah-darah kita akan bercampur bersama oli dari tangki-tangki truk yang dikunyahnya.

    Kau masih saja nikmat dalam kebisuan. Kutundukkan kepala, kutangkupkan kedua tangan pada tengkuk yang mulai berkeratap. Entah di seperseratus detik lagi, apakah leher ini masih dalam posisi semula ataukan terlempar dan terjerembab di emperan istana negara? Kutengadahkan wajahku sedikit-sedikit, kutengok pipimu yang tenggelam, jatuh melesung legit-legit.

    Kau masih saja diam dinda. Lihatlah sedikit! Dataran di depan wajah kita mulai terbelah. Magma-magma melakukan pemberontakan besar-besaran. Cambukan-cambukan apinya menjilati langit hingga surga. Setetes neraka memercik mengenai kakiku. Duh… hanya sepercik saja jempolku hilang dan otakku mendidih. Apa yang kini akan kulakukan dinda? Kapan sepotong kalimat dari tenggorokanmu akan keluar dan kukecupi dengan mesra? Kuangkat kakiku tinggi-tinggi, lautan panas mengalir di bawahku menghancurkan batu-batu. Aku hanya meringis kesakitan, kuusap peluh yang mengalir bagaikan sungai, kutengok lancip dagumu yang meneteskan beberapa bulir mutiara.

    Awas kepalamu dinda! Tembok yang kau sandari mulai roboh. Ceker ayamnya mulai rapuh karena kini dari utara kulihat puluhan ribu prajurit rayap menyerbu kejam. Segala macam hal mereka bantai. Bukan hanya kayu. Besi, panci, gelas plastik, lembaran-lembaran kertas sampai beton mereka lahap habis. Apakah mereka juga menyukai daging manusia dinda? Bagaimana dengan otak dan hati ampela? Kalau mereka suka berarti kita dalam bahaya. Seperti biasanya, kau tenang-tenang saja. Kutarik sarung untuk menutupi seluruh tubuhku. Dari selubang celah yang kusisakan, kutatap bibirmu yang mengerucut, menyiulkan sesuatu yang kutahu sangat indah mendamaikan.

    Ayolah dinda, berbicaralah walau dengan isyarat! Sudah berapa abad yang kita sia-siakan hanya dengan diam? Sudah berapa umur yang kita buang hanya dalam keterbungkaman? Mari kita isi dengan candaan! Mari kita lakukan tari-tarian sederhana yang tidak membutuhkan uang. Dinda, tulang dan ototku bisa kaku kalau kita hanya meringkuk di pojok sepi yang sempit seperti ini. Ayo dinda! Sebelum longsoran gunung itu mengubur kita.

    ***

    Gunung selatan sudah mencair. Ia meleleh seperti bongkahan es di terik matahari. Tanahnya mengamuk, menuruni lembah seperti ular cobra yang akan mematuk korbannya. Ratusan pohon jati, pinus dan beberapa singa juga terlihat murka. Beberapa mobil yang dilewatinya sudah dipastikan rata kecuali beberapa tulang jari manusia pengendaranya. Dan 5 detik lagi, ia akan mengubur kita. Kutundukkan kepala lebih rendah daripada pantat. Kucium aroma wewangian tanah air yang subur. Partikel-partikel humusnya terhirup hidungku lalu masuk ke dalam jantung. Samar-samar, kulihat kemudian gemeretak gigimu yang putih, berderet rapi seperti gerbong kereta api.

    Dan kini giliran langit yang mulai runtuh satu persatu. Bintang-bintang jatuh, bulan-bulan kehilangan tangkai gravitasinya, dan matahari dengan bunyi “gedebuuumm” menghantam bumi, meninggalkan bekas lubang merah nan menyala yang sangat besar. Tanah pun menjadi panas. Sisa-sisa magma yang sebenarnya sudah beku karena gelombang tanah yang menutupinya, kembali menyala bahkan lebih terang dari sebelumnya. Cacing-cacing terlempar keluar. Kupungut satu, tubuhnya panas melepuhkan kuku jariku.

    Langit benar-benar runtuh dinda. Awan putih terpotong-potong, terbelah-belah. Coba lihat! Ia turun perlahan menuju pangkuanmu. Haha, pakaianmu basah karena awan itu masih menyimpan hujan. Tapi yang sebenarnya patut kita khawatirkan adalah bintang. Ia jatuh seperti nuklir. Menusuk bumi hingga berlubang. Samudera menjadi bocor. Sungai menjadi bocor. Danau-danau menjadi bocor. Airnya meluap ke seluruh penjuru arah. Bagaimana dinda, masihkah kau kukuh dengan diammu itu? Atau kita pindah saja ke bumi yang lebih tenang berhiaskan salju?

    Apakah kau sudah tidak peduli dengan kata-kata dinda? Apakah kau sudah tidak lagi memperhitungkan bahasa manusia? Jangan terlalu lugu! Tanpa kata manusia akan jadi apa? Tanpa bahasa manusia akan berwujud apa dinda? Atau, jangan-jangan kau sudah melupakan semua aksara? Hantam kromo dengan diam terhadap segala bentuk tuturan dan wicara.

    Nnjleeeb… Sebuah bintang akhirnya mendarat tepat di antara kedua mataku. Dengan kecepatannya aku lalu terbenam hingga dasar bumi kecuali kepala. Aku masih bisa melihat jelas keberadaanmu walaupun dua belah mataku terpisah ke lain arah. Darah otakku terasa asin seperti ingus. Telingaku senyap-senyap menerima gelombang desis daun kering yang hancur ketika menyentuh api. Nyesssh

    Aku tidak lagi bisa berbuat apa-apa dinda. Inilah akhir dunia. Tinggallah abadi dengan diammu itu, sesukamu! Aku tidak lagi bisa menghindar dinda. Aku sudah di ujung waktu. Hanya ada sepotong gambaran wajah yang kini samar-samar kutatap lekat-lekat. Inilah nafas terakhirku dinda. Semakin lama dunia semakin hitam. Sayup-sayup kudengar sebuah panggilan. Sepotong perkataan yang melesat sangat kencang.

    “Sayang, mengapa engkau diam?”[]
     
    lasealwin likes this.
  2. Unmetered

    Unmetered Member

    Joined:
    Nov 12, 2015
    Messages:
    483
    Likes Received:
    69
    Trophy Points:
    28
    Diam itu emas, banyak ngomong itu perak, salah satu dosa terbanyak manusia disebabkan melalui tidak bisa jaga lisan
     
  3. kusumarga

    kusumarga Member

    Joined:
    Jul 7, 2015
    Messages:
    761
    Likes Received:
    78
    Trophy Points:
    28
    wow bahasanya....
    harus mkir :D
     
  4. NieeLz

    NieeLz Well-Known Member

    Joined:
    Aug 24, 2015
    Messages:
    1,790
    Likes Received:
    127
    Trophy Points:
    63
    Google+:
    pantas panjang, sastra :D nice trit den
     
Loading...

Share This Page