Biografi dan Jejak Perjuangan Buya Hamka

Discussion in 'General Discussion' started by syahidelhawk, Dec 8, 2015.

Tags:
  1. syahidelhawk

    syahidelhawk New Member

    Joined:
    Oct 5, 2015
    Messages:
    11
    Likes Received:
    7
    Trophy Points:
    3
    Beliau biasa disapa dengan nama HAMKA yang merupakan singkatan dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Nama beliau terkenal sebagai ulama besar Indonesia, sastrawan, wartawan, guru, dan aktivis politik di Indonesia.
    [​IMG]
    Beliau mendapatkan julukan "Buya" yang diambil dari perkataan bahasa arab "Abi" atau "Abuya" yang memiliki arti ayah atau seseorang yang sangat dihormati. Berikut rekaman jejak perjuangan Buya Hamka yang telah berjuang di jalan kebaikan untuk kemakmuran tanah air kita, Indonesia. Berikut biografi tentang Buya Hamka hingga akhir hayatnya.

    Buya Hamka Lahir dari Keluarga yang Disegani Oleh Masyarakat

    Abdul Malik, itulah nama panggilan Buya Hamka ketika masih kecil. Beliau lahir pada tanggal 17 Februari 1908 di sebuah dusun Nagari Sungai Batang yang letaknya berada di tepian Danau Maninjau, Tanjung Taya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Beliau lahir sebagai anak pertama dari tujuh bersaudara. Beliau lahir dalam keluarga yang sangat taat dalam ajaran agama islam.

    Ayahnya bernama Abdul Karim Amrullah yang merupakan ulama pembaru islam di Minangkabau yang memiliki nama panggilan Haji Rasul. Ibunya bernama Sitti Shafiyah yang merupakan keturunan seniman di Minangkabau. Adapun Ayah dari Abdul Karim, Kakek dari Hamka yakni Muhammad Amrullah yang terkenal sebagai ulama pengikut tarekat Maqsyabandiyah.

    Dari Surau, Sekolah Kecil, Diniyah School, Thawalib hingga Perpustakaan

    Sebelum merasakan pendidikan di sekolah, Hamka kecil tinggal bersama neneknya di sebuah rumah yang berdekatan dengan Danau Maninjau. Ketika Hamka berusia 6 tahun, ia pindah bersama ayahnya ke Padang Panjang untuk belajar di surau dan mengikuti tradisi anak laki-laki di Minangkabau. Di surau tersebut Hamka belajar mengaji dan silek, selain itu dia juga suka mendengarkan kaba, yaitu kisah-kisah yang diceritakan dengan lantunan alat musik tradisional Minangkabau. Pergaulannya dengan para tukang-tukang kaba memberikannya pengetahuan yang lebih luas dalam seni bercerita dan mengolah kata-kata.

    Pada tahun 1915, ketika usianya genap 7 tahun, Hamka dimasukkan ke sebuah sekolah desa. Pada siang hari dia belajar pengetahuan umum di sekolah desa di Guguk Malintang. 2 tahun kemudian, sambil tetap belajar di sekolah desa dia juga belajar di diniyyah school setiap sorenya. Pada tahun 1918 dia dimasukkan juga ke dalam thawalib, sejak saat itu dia tidak dapat lagi mengikuti pelajaran yang ada di sekolah desa, ia berhenti ketika tamat SD kelas 2. Setelah itu dia belajar di Diniyah school di pagi hari dan sorenya belajar ke Thawalib (Semacam pesantren tetapi tidak menetap) dan malamnya kembali ke surau.

    Merasa bosan, Hamka sering kali dengan sengaja membolos ke sekolah, ia lebih senang berada di perpustakaan umum yang dimiliki gurunya, Zainuddin Labay El Yunusy. Selama di perpustakaan itu Hamka lebih leluasa membaca aneka ragam buku, bahkan beberapa buku dia pinjam untuk dibaca di rumah. Karena buku yang dia pinjam tidak ada kaitannya dengan pelajaran, dia sempat dimarahi oleh ayahnya ketika ketahuan sedang asyik membaca buku Kaba Cindua Mato. Ayahnya berkata, "Apakah engkau akan menjadi orang yang alim nanti atau mau menjadi tukang cerita?"

    Hamka Merantau Ke Pulau Jawa Mengikuti Kata Hatinya untuk Mencari Ilmu dan Mencari Pengalaman Hingga Bertemu dengan Para Tokoh Pergerakan Islam


    Sebagai usaha untuk menunjukkan diri kepada ayahnya dan sebagai akibat dari bacaannya di buku-buku yang dibacanya tentang daya tarik tentang jawa tengah, Hamka muda sangat berminat untuk merantau pergi ke tanah Jawa. Pada saat itu juga dia sudah tidak tertarik lagi untuk belajar di Thawalib. Setelah dia belajar sekitar 4 tahun ia memutuskan untuk keluar dari Thawalib, padahal program pendidikan di sekolah tersebut adalah 7 tahun. Hamka keluar dari Thawalib tanpa memperoleh ijazah.

    Pada masa-masa itu pula dia sempat dibawa ke Parabek, sekitar 5 km dari Bukittinggi pada tahun 1922 untuk belajar langsung kepada Syekh Ibrahim Musa, tetapi itu tidak dapat berlangsung lama. Hamka lebih memilih mengikuti kata hatinya untuk menuntut ilmu dan mencari pengalaman menurut caranya sendiri. Pada akhirnya dia memutuskan untuk merantau ke Jawa, tetapi usahanya tersebut sempat tertahan oleh ayahnya.

    Hamka memang terkenal sering melakukan perjalanan jauh. Dia sudah sering bepergian ke beberapa tempat yang ada di Minangkabau sejak usia remaja, seghingga dia mendapatkan julukan dari ayahnya dengan sebutan "Si Bujang Jauh".

    Ketika berumur 15 tahun, setelah mengalami sebuah perkara yang menggucangkan hatinya, yaitu perceraian orangtuanya, Hamka sudah berniat pergi ke pulau Jawa setelah mengetahui bahwa islam di Jawa lebih maju daripada tempat kelahirannya Minangkabau terutama dalam pergerakan organisasi islam. Namun, setibanya di Bengkulu dia terkena penyakit cacar sehingga memerlukan waktu sekitar 2 bulan berada di atas pembaringan. Akhirnya dia memutuskan untuk kembali ke rumah, walaupun begitu Hamka tetap bersikeras untuk tetap merantau ke pulau Jawa.

    Pada tahun 1924, setahun setelah Hamka sembuh dari penyakit cacar, dia memutuskan untuk kembali berusaha merantau ke pulau Jawa.

    Setibanya di pulau Jawa, Hamka langsung menuju kota Yogyakarta dan menetap di rumah adik kandung ayahnya, Ja'far Amrullah. Melalui pamannya itu dia mendapatkan banyak kesempatan dalam mengikuti diskusi dan pelatihan dalam pergerakan islam yang diselenggarakan oleh organisasi agama Muhammadiyah dan Sarekat Islam. Selain mempelajari pergerakan islam, Hamka juga meluaskan pandangannya dalam persoalan tentang gangguan terhadap kemajuan islam karena kristenisasi dan komunisme. Selama di Jawa, Hamka aktif dalam berbagai kegiatan sosial dan agama.

    Dalam berbagai kesempatan, Hamka dapat berguru langsung kepada Bagoes Hadikoesoemo, HOS Tjokroaminoto, Abdul Rozak Fachruddin dan Suryopranoto. Sebelum kembali lagi ke kampung halamannya Minangkabau, dia sempat untuk mengembara ke Bandung dan bertemu dengan tokoh-tokoh Masyumi, seperti Ahmad Hassan dan Mohammad Natsir, yang memberikan kepadanya kesempatan untuk dapat belajar menulis dalam Majalah Pembela Islam. Kemudian pada tahun 1925 dia pergi ke Pekalongan, Jawa Tengah untuk bertemu dengan Ahmad Rasyid Sutan Mansur yang merupakan ketua Muhammadiyah cabang Pekalongan sekaligus belajar kepadanya.

    Hamka Pulang Kampung dan Menyebarkan Islam Melalui Khutbah

    [​IMG]
    Setelah setahun lamanya tinggal di pulau Jawa, pada bulan Juli tahun 1925 Hamka kembali ke Padang Panjang. Di Padang Panjang dia menulis majalah pertamanya berjudul Chatibul Ummah yang berisikan kumpulan pidato yang di dengarkan di surau Jembatan Besi dan majalah Tabligh Muhammadiyah.

    Di sela-sela aktivitasnya dalam berdakwah melalui tulisan, Hamka juga menyempatkan diri untuk berpidato di beberapa tempat di Padang Panjang. Namun pada saat itu dia mendapatkan kritikan yang sangat tajam oleh ayahnya. "Pidato saja adalah percuma, isi terlebih dahulu dengan pengetahuan barulah ada arti dan manfaat dari pidato-pidato yang kamu sampaikan". Di sisi lain masyaratkat sangat antusias akan pidato Hamka. Dia sering dicemooh sebagai "tukang pidato yang tidak berijazah", bahkan ia sempat mendapatkan kritikan pedas dari beberapa ulama karena belum menguasai bahasa arab dengan baik. Kritikan itu seakan-akan cambuk yang melecutnya untuk membekali diri agar lebih matang esok harinya.

    Kritik Masyarakat yang Diterima Buya Hamka Membuatnya semakin Terpacu untuk Belajar Bahasa Arab Lebih Giat Hingga Akhirnya Dapat Menunaikan Haji

    Pada bulan Februari tahun 1927, Hamka memutuskan untuk pergi ke Mekkah untuk memperdalam lagi ilmu tentang agamanya. Khususnya dia akan mendalami bahasa arab dan menunaikan ibadah hajinya yang pertama kali. Hamka pergi tanpa berpamitan kepada ayahnya dan berangkat dengan biaya yang ia tanggung sendiri.

    Selama di Mekkah ia menjadi korensponden Harian Pelita Andalas Sekaligus bekerja di sebuah perusahaan percetakan milik Tuan Hammid, putra dari Majid Kurdi yang merupakan mertua dari Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Di tempat itu pula ia membaca berbagai macam kitab klasik, buletin islam dalam bahasa arab. Satu-satunya bahasa asing yang dia kuasai.

    Menjelang pelaksanaan ibadah haji berlangsung, Hamka bersama beberapa calon jamaah haji lainnya mendirikan sebuah organisasi persatuan Hindia Timur, yang merupakan sebuah organisasi yang memberikan informasi pelajaran manasik haji kepada calon jamaah haji dari Indonesia.

    Setelah menunaikan haji dan sudah tinggal cukup lama di tanah suci, dia berjumpa kembali dengan Agus Salim dan sempat menyampaikan isi hatinya untuk tetap tinggal di Mekkah, tetapi Agus Salim justru menasihatinya agar segera pulang. Agus Salim berkata kepada Hamka, "Banyak pekerjaan yang jauh lebih penting bersangkutan dengan pergerakan, studi, dan perjuangan yang dapat kamu lakukan. Akan lebih baik jika kamu mengembangkan diri di tanah airmu sendiri.

    Hamkapun segera kembali setelah 7 bulan menetap di Mekkah. Sepulangnya dari Mekkah dia tidak langsung pulang ke Padang Panjang, ia malah menetap di kota Medan yang merupakan tempat berlabuhnya kapal yang ia tumpangi tadi.

    Dari Medan Pulang ke Padang Panjang Kemudian Kembali Lagi ke Medan

    Selama di Medan, Hamka banyak menulis artikel di berbagai macam majalah dan sempat menjadi guru agama selama beberapa bulan di Tebing Tinggi. Ia mengirimkan tulisannya ke surat kabar Pembela Islam di Bandung dan Suara Muhammadiyah yang dipimpin oleh Abdul Rozak Fachruddin di Yogyakarta. Dia juga menuliskan tentang laporan perjalanannya selama di Mekkah pada tahun 1927.

    Pada tahun yang sama, Hamka diangkat menjadi redaktur Majalah Kemajuan Zaman berdasarkan hasil konferensi Muhammadiyah di Padang Panjang. Setahun berikutnya dia menuliskan beberapa buku antara lain seperti Agama dan Perempuan, Pembela Islam, Adat Minangkabau, Agama Islam, Kepentingan Tabligh dan Ayat-ayat Mi'raj. Diantara karya-karya tersebut beberapa dianggap berbahaya bagi pemerintahan kolonial yang sedang berkuasa disaat itu.

    Selama di Medan, orang-orang yang ada di kampung halaman sering mengirimkan surat kepada Hamka untuk segera pulang, namun semua ditolaknya. Oleh sebab itu ayahnya mengutus Ahmad Rasyid Sutan Mansur untuk menjemput dan membujuknya agar mau pulang ke kampung halamannya di Maninjau. Sementara rumah ayahnya luluh lantak akibat gempa bumi pada tahun 1926. Setibanya di kampung halamanya, ia diterima oleh ayahnya dengan penuh haru hingga meneteskan air mata.

    Ayahnya terkejut mengetahui Hamka telah berangkat haji dan pergi dengan ongkos sendiri. Ayahnya bahkan berkata, “Mengapa tidak engkau beri tahu bahwa begitu mulia dan suci maksudmu? Abuya (ayah) ketika itu sedang susah dan miskin. Kalau itu maksudmu, tak kayu jenjang dikeping, tak emas bungkal diasah.” Sejak saat itu, pandangan Hamka terhadap ayahnya mulai berubah. Namun, setelah sekitar setahun menetap di Sungai Batang, ia kembali meninggalkan kampung halamannya.

    Karya-karya Hamka Mengalir Deras ke Ranah Publik

    [​IMG]
    Hamka pindah kembali ke Medan pada tahun 1936. Di Medan dia bekerja sebagai editor sekaligus menjadi pemimpin redaksi sebuah majalah pengetahuan islam yang didirikannya bersama M Yunan Nasution, yaitu majalah Pedoman Masyarakat. Melalui dari majalah itulah, dia mulai memperkenalkan nama penanya "Hamka". Selama di Medan ia menulis "Di Bawah Lindungan Ka'bah" inspirasi dari perjalanannya ke Mekkah pada tahun 1927.

    Setelah itu terbit juga "Tenggelamnya Kapal Van der Wijck" yang pada awal penulisannya sebagai cerita bersambung dalam majalah Pedoman Masyarakat. Selain masih ada beberapa lagi karya tulisannya, seperti Merantau ke Deli, Keadilan Ilahi, Tuan Direktur, Angkatan Baru, Terusir, Di Dalam Lembah Kehidupan, Ayahku, Tasawuf Modern dan Falsafah Hidup.

    Namun pada tahun 1943, majalah Pedoman Masyarakat yang dipimpinnya di tutup paksa oleh Jepang yang saat itu berkuasa di Tanah Indonesia.

    Berkeluarga Kemudian Pindah Ke Minangkabau dan Berdakwah Disana

    Setelah perkawinannya dengan Sitti Raham, Hamka aktif dalam kepengurusan Muhammadiyah cabang Minangkabau, yang cikal bakalnya bermula dari perkumpulan Sendi Aman yang didirikan oleh ayahnya pada tahun 1925 di Sungai Batang. Selain itu, ia sempat menjadi pimpinan Tabligh School, sebuah sekolah agama yang didirikan Muhammadiyah pada 1 Januari 1930.

    Sejak menghadiri Muktamar Muhammadiyah di Solo pada tahun 1928, Hamka tidak pernah absen menghadiri kongres-kongres Muhammadiyah berikutnya. Sekembalinya dari Solo, ia mulai memangku beberapa jabatan, sampai akhirnya ia diangkat sebagai Ketua Muhammadiyah cabang Padang Panjang. Seusai Muktamar Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi pada tahun 1930, disusul dengan kongres berikutnya di Yogyakarta, ia memenuhi undangan untuk mendirikan cabang Muhammadiyah di Bengkalis.

    Selanjutnya pada tahun 1932, ia diutus oleh Muhammadiyah ke Makassar dalam rangka mempersiapkan dan menggerakkan semangat rakyat untuk menyambut Muktamar Muhammadiyah ke-21 di Makassar. Selama di Makassar, ia sempat menerbitkan Al-Mahdi, majalah pengetahuan Islam yang terbit sekali sebulan. Pada tahun 1934, setahun setelah menghadiri Kongres Muhammadiyah di Semarang, ia diangkat menjadi anggota tetap Majelis Konsul Muhammadiyah untuk wilayah Sumatera Tengah.

    Kariernya di Muhammadiyah kian menanjak sewaktu ia pindah ke Medan. Pada tahun 1942, bersamaan dengan jatuhnya Hindia-Belanda ke dalam tampuk kekuasaan penjajah Jepang, Hamka terpilih menjadi pimpinan Muhammadiyah untuk wilayah Sumatera Timur menggantikan H. Mohammad Said. Namun pada Desember 1945, ia memutuskan kembali ke Minangkabau dan melepaskan jabatan tersebut. Pada tahun berikutnya, ia terpilih menjadi Ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah Sumatera Barat menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto. Jabatan ini ia rengkuh hingga tahun 1949.

    Pada tahun 1953, ia terpilih sebagai pimpinan pusat Muhammadyiah dalam Muktamar Muhammadiyah ke-32 di Purwokerto. Sejak saat itu, ia selalu terpilih dalam Muktamar Muhammadiyah selanjutnya, sampai pada tahun 1971 ia memohon agar tidak dipilih kembali karena merasa uzur. Akan tetapi, ia tetap diangkat sebagai penasihat pimpinan pusat Muhammadiyah sampai akhir hayatnya.

    Buya Hamka Konsisten Memperjuangkan Syariat Islam Di Parlemen

    [​IMG]
    Ulasan-ulasan sebelumnya telah menjelaskan kepada kita bahwa sejak masih muda, Buya Hamka telah terlibat dalam aktivitas politik, yaitu ketika menjadi anggota Sarekat Islam pada tahun 1925 dan, setelah kemerdekaan ia aktif dengan Partai Masyumi. Pada pemilihan umum 1955, ia terpilih menjadi anggota Dewan Konstituante mewakili Jawa Tengah. Akan tetapi pengangkatan tersebut ditolak karena merasa tempat tersebut tidak sesuai baginya. Atas desakan kakak iparnya, Ahmad Rasyid Sutan Mansur, akhirnya Hamka menerima pengangkatan tersebut.

    Di Konstituante, ia bersama Mohammad Natsir, Mohammad Roem, dan Isa Anshari menjadi pihak yang paling konsisten memperjuangkan syariat Islam menjadi dasar negara Indonesia. Dalam pidatonya, Hamka mengusulkan agar dalam sila pertama Pancasila dimasukkan kembali kalimat tentang “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”, sebagaimana yang termaktub dalam Piagam Jakarta. Akan tetapi, pemikiran Hamka ditentang keras oleh sebagian besar anggota Konstituante, yang umumnya berasal dari pihak komunis.

    Selanjutnya, dalam sidang Konstituante di Bandung pada tahun 1957, ia menyampaikan pidato penolakannya atas gagasan Presiden Soekarno yang akan menerapkan Demokrasi Terpimpin. Namun, segala usahanya itu kandas setelah Soekarno membubarkan Dewan Konstituante melalui Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 dan, perjalanan politik Hamka dapat dikatakan berakhir setelah Masyumi ikut dibubarkan oleh Presiden Soekarno.

    Tafsir Al-Azhar, Masterpiece Buya Hamka yang Ditulisnya Selama Di Penjara

    Sikap Buya Hamka yang konsisten terhadap agama menyebabkan acapkali berhadapan dengan banyak ringtangan terutama dalam kebijakan pemerintah. Keteguhan hatinya terhadap islam membuatnya harus mendekam dalam kurungan besi oleh Soekarno dari tahun 1964 sampai 1966.

    Pada awalnya Hamka diasingkan ke Sukabumim kemudian ke Puncak Megamendung dan terakhir di rawat di rumah sakit Persahabatan Rawamangun sebagai tawanan. Selama di penjara dia juga mulai menulis Tafsir Al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya.

    Buya Hamka Tidak Menyimpan Dendam Kepada Orang yang Telah Memasukannya ke Dalam Penjara

    [​IMG]
    Setelah bebas dari penjara, dia tidak tahu bagaimana kabar Soekarno, orang yang telah memasukkan dia ke penjara. Hamka di penjara karena perbedaan pandangan politik Buya Hamka yang Islamis dengan Soekarno yang seorang Sekularis.

    Pada tanggal 16 Juni 1970, Ajudan Soeharto datang menemui Hamka di Kebayoran dengan membawa secarik kertas berisi pesan yang berbunyi, "Bila aku mati kelak, mohon kesediaan Hamka untuk menjadi imam sholat jenazahku".

    Mayjen Soueryo memberitahukan bahwa Soekarno wafat di RSPAD dan jenazahnya di wisma Yosi sedang menunggu Buya Hamka. Tanpa banyak pikir, Buya Hamka langsung mengiyakan permintaan terakhir presiden Soekarno, yaitu memimpin sholat jenazahnya.

    Ketika ditanya apakah Buya Hamka tidak dendam kepada Soekarno yang telah menahannya penjara, ia menjawab,” Hanya Allah yang mengetahui seseorang itu munafik atau tidak. Yang jelas, sampai ajalnya, dia tetap seorang muslim. Kita wajib menyelenggarakan jenazahnya dengan baik. Saya tidak pernah dendam kepada orang yang pernah menyakiti saya. Dendam itu termasuk dosa. Selama dua tahun empat bulan saya ditahan, saya merasa semua itu anugerah dari Allah kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan Kitab Tafsir Al Quran 30 Juz. Bila bukan dalam tahanan, tidak mungkin ada waktu saya untuk mengerjakan dan menyelesaikan pekerjaan itu.”

    Buya Hamka Mendapatkan Gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Nasional Malaysia dan Universitas Al-Azhar Mesir

    Pada tahun 1959, Hamka mendapat anugerah gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar, Kairo atas jasa-jasanya dalam penyiaran agama Islam dengan menggunakan bahasa Melayu. Kemudian pada 6 Juni 1974, kembali ia memperoleh gelar kehormatan tersebut dari Universitas Nasional Malaysia pada bidang kesusasteraan, serta gelar Profesor dari Universitas Prof. Dr. Moestopo.

    Buya Hamka Terpilih Menjadi Ketua MUI pertama, Selang Beberapa Tahun Dia Mengundurkan Diri dari Jabatannya

    Pada tahun 1977, Hamka dipilih sebagai ketua umum Majelis Ulama Indonesia yang pertama. Semasa jabatannya, Hamka mengeluarkan fatwa yang bersisi penolakan terhadap kebijakan pemerintah yang akan memberlakukan RUU Perkawinan tahun 1973, dan mengecam kebijakan diperbolehkannya merayakan Natal bersama umat Nasrani. Meskipun pemerintah mendesaknya untuk menarik kembali fatwanya tersebut dengan diiringi berbagai ancaman, Hamka tetap teguh dengan pendiriannya.

    Akan tetapi, pada tanggal 24 Juli 1981, Hamka memutuskan untuk melepaskan jabatannya sebagai ketua umum Majelis Ulama Indonesia, karena fatwanya yang tidak kunjung dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.

    Buya Hamka Berpulang ke Rahmatullah

    [​IMG]
    Setelah mengundurkan diri dari jabatan ketua MUI, kesehatan Buya Hamka memburuk. Atas anjuran dokter Karnen Bratawijaya, dokter keluarganya, ia diopname di Rumah Sakit Pusat Pertamina pada 18 Juli 1981, yang bertepatan dengan awal Ramadan.

    Pada hari keenam dirawat, ia sempat menunaikan salat Dhuha dengan bantuan putrinya, Azizah, untuk bertayamum. Siangnya, beberapa dokter datang memeriksa kondisinya, dan kemudian menyatakan bahwa ia berada dalam keadaan koma. Kondisi tersebut tetap berlangsung sampai malam harinya. Tim dokter menyatakan bahwa ginjal, paru-paru dan saraf sentralnya sudah tidak berfungsi lagi, dan kondisinya hanya bisa dipertahankan dengan alat pacu jantung. Pada pukul 10 pagi keesokan harinya, anak-anaknya sepakat untuk mencabut alat pacu jantung, dan Buya Hamka menghembuskan napas terakhirnya tidak lama setelah itu.

    Buya Hamka meninggal dunia pada hari Jum’at, 24 Juli 1981 pukul 10 lewat 37 menit dalam usia 73 tahun. Jenazahnya disemayamkan di rumahnya di Jalan Raden Fatah III. Antara pelayat yang hadir untuk memberi penghormatan terakhir dihadiri Presiden Soeharto dan Wakil Presiden Adam Malik, Menteri Negara Lingkungan Hidup Emil Salim serta Menteri Perhubungan Azwar Anas yang menjadi imam salat jenazahnya.

    Jenazahnya dibawa ke Masjid Agung dan disalatkan lagi, dan kemudian akhirnya dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan, dipimpin Menteri Agama Alamsjah Ratoe Perwiranegara.

    Sumber: satujam.com
     
Loading...

Share This Page