Seorang teman saya sering memberikan ilustrasi tentang demokrasi di Indonesia pasca reformasi. Ibarat bayi yang baru lahir, langsung dipaksa untuk makan makanan yang bergizi tinggi menurut standard orang dewasa (baca : demokrasi Barat) Betapa tidak, selama 32 dibawah pemerintahan Orde Baru, masyarakat hanya disuguhi demokrasi semu. Kemudian atas desakan banyak pihak, termasuk tekanan dari asing, Indonesia dipaksa harus menerapkan demokrasi menurut standard Barat, salah satunya melalui pemilihan presiden dan kepala daerah secara langsung oleh rakyat, tanpa mempertimbangkan situasi dan kondisi transisi yang terjadi saat itu. Untuk dapat tumbuh dan berkembang secara baik dan sehat, manusia memerlukan asupan gizi dan vitamin yang seimbang melalui komposisi makanan 4 sehat 5 sempurna. Namun perlu diingat bahwa ukuran atau takarannya harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan usia. Bagi bayi, kebutuhan gizi dan vitamin itu mungkin cukup dengan bubur spesial untuk bayi ditambah air susu ibu. Bagi orang dewasa, kebutuhan nutrisinya lebih tinggi dan lebih kompleks lagi. Memberikan asupan gizi dan vitamin untuk bayi menurut standard kebutuhan orang dewasa, bisa jadi bukan malah membuat bayi jadi tumbuh sehat tapi malah over dosis. Demikian juga dengan demokrasi di Indonesia di era reformasi pasca runtuhnya rezim Orde Baru. Demokrasi kita dipaksa mengikuti aturan dan standard demokrasi sebagaimana yang dilaksanakan di negara-negara maju melalui pemilihan secara langsung oleh rakyat. Ibarat orang yang baru belajar berjalan (baca:demokrasi), dipaksa untuk naik kendaraan atau sepeda motor (bacaemilihan secara langsung) untuk mempercepat proses demokratisasi dan mengejar ketertinggalan agar dianggap sejajar dengan negara-negara demokratis lainnya. Tetapi, karena belum bisa menggunakan sepeda motor secara baik dan benar maka terjadi banyak insiden, jatuh, tabrakan dan berbagai kecelakaannya. Demokrasi kita tidak tumbuh secara normal dan alamiah, tetapi dipaksa untuk mengikuti standard demokrasi barat, akibatnya banyak gesekan, ketimpangan dan penyimpangan serta ekses yang sangat merugikan perkembangan demokratisasi itu sendiri. Ketidaksiapan dan ketidakmampuan kita saat itu menyebabkan terlalu banyak pengorbanan yang harus dilakukan untuk membangun demokrasi. Sekarang, disaat kita sudah melakukan banyak pengorbanan untuk perkembangan demokrasi kita sejak era reformasi, rakyat merasa berdaulat untuk menyampaikan aspirasinya secara langsung, tiba-tiba aturan pemilihan secara langsung itu dicabut dan ditarik kembali. Itu sama artinya tidak menghargai upaya dan kerja keras serta pengorbanan seluruh masyarakat dan bangsa. Mereka telah jatuh-bangun, lecet, patah tulang dan bersimbah darah untuk belajar naik motor agar bisa menggunakan sepeda motor tersebut untuk mempercepat usaha mereka, tetapi ketika mereka sudah merasa mampu dan nyaman serta sanggup menggunakan sepeda motor itu sesuai fungsi dan aturannya, sepeda motor itu ditarik dan tidak boleh digunakan lagi, mereka diharuskan berjalan kaki lagi karena sepeda motor dianggap membahayakan, mengakibatkan kecelakaan dan banyak menimbulkan korban. Sumber asli berbahasa Inggris : http://goo.gl/LtNAQp Abahe Yusfa, Oct 16, 2014 #1 asli3rut Member Joined: Sep 6, 2014 Messages: 641 Likes Received: 44 Trophy Points: 28 Merdeka...gan, tapi tatap saja suara terhebat berada di DPR, yang kerjanya cuman.....ketika rapat. asli3rut, Oct 16, 2014 #2 Abahe Yusfa Member Joined: Sep 1, 2014 Messages: 227 Likes Received: 4 Trophy Points: 18 Ya iya....Realitasnya memang seperti itu.... Abahe Yusfa, Oct 16, 2014 #3 (You must log in or sign up to reply here.) Show Ignored Content Loading... Similar Threads - Ilustrasi Demokrasi Kita Aung San Suu Kyi, Wanita Pejuang Demokrasi Dari Myanmar Abahe Yusfa, Oct 17, 2014, in forum: Politik Replies: 0 Views: 1,602 Abahe Yusfa Oct 17, 2014 Share This Page Tweet Log in with Facebook Log in with Twitter Your name or email address: Do you already have an account? No, create an account now. Yes, my password is: Forgot your password? Stay logged in