Manusia Setengah Dewa eps 2

Discussion in 'Creative Art & Fine Art' started by cerita-silat, Feb 1, 2015.

  1. cerita-silat

    cerita-silat Member

    Joined:
    Dec 7, 2014
    Messages:
    292
    Likes Received:
    6
    Trophy Points:
    18
    Google+:
    terjadi, keluar dari dalam, mukanya penuh darah,
    kedua tangannya dan pakaiannya juga. Dia
    melangkah keluar
    seperti dalam mimpi, mukanya pucat sekali dan
    matanya yang lebar itu terbelalak
    memandang penuh kengerian.Dia berdiri di depan
    pintu rumahnya, matanya makin terbelalak
    memandang apa yang terjadi di depan rumahnya.
    Jelas tampak olehnya betapa para
    tetangganya itu, seperti sekumpulan serigala buas,
    menyerang dan memukuli tiga orang
    pencuri tadi, para pembunuh ayah-bundanya.
    Terdengar olehnya betapa pencuri-pencuri itu
    mengaduh-aduh merintih-rintih, minta-minta ampun
    dan terdengar pula suara bak-bik-buk ketika kaki
    tangan dan senjata menghantami
    mereka. Mereka bertiga itu roboh, dan terus
    digebuki, dibacok, dihantam dan darah muncrat-
    muncrat., tubuh tiga orang itu berkelojotan, suara
    yang aneh keluar dari tenggorokan mereka.
    Akan tetapi orang-orang yang marah dan haus
    darah itu, yang menganggap bahwa apa yang
    mereka lakukan ini sudah baik dan adil, terus saja
    menghantami tiga orang manusia sial itu sampai
    tubuh mereka remuk dan tidak tampak seperti
    tubuh manusia lagi, patutnya hanya
    onggokan-onggokan daging hancur dan tulang-
    tulang patah.
    Ketika semua orang sudah merasa puas, juga mulai
    ngeri melihat hasil perbuatan mereka,
    menghentikan pengeroyokan terhadap tiga mayat
    itu dan mereka memasuki rumah keluarga
    Kwa, Sin Liong tidak berada disitu Kiranya bocah ini,
    yang baru saja tergetar jiwanya, tergores penuh
    luka melihat ayah bundanya dibacoki dan dibunuh,
    ketika melihat tiga orang
    pembunuh itu dikeroyok dan disiksa, jiwanya
    makin terhimpit, luka-luka dihatinya makin banyak
    dan dia tidak kuat menahan lagi. Dilihatnya wajah
    orang-orang itu semua seperti wajah iblis, dengan
    mata bernyala-nyalapenuh kebencian dan dendam,
    penuh nafsu
    membunuh, dengan mulut terngangga seolah-olah
    tampak taring dan gigi meruncing, siap
    untuk menggigit lawan dan menghisap darahnya.
    Dia merasa ngeri, merasa seolah-olah
    tampak taring dan gigi meruncing, siap untuk
    menggigit lawan dan menghisap darahnya. Dia
    merasa ngeri, merasa seolah-olah berada di antara
    sekumpulan iblis, maka sambil menangis tersedu-
    sedu Sin liong lalu lari meninggalkan tempat itu,
    meninggalkan rumahnya,
    meninggalkan kota Kun-leng, terus berlari ke arah
    pegunungan yang tampak dari jauh seperti seorang
    manusia sedang rebahan, seorang manusia dewa
    yang sakti, yang akan
    melindunginya dari kejaran iblis itu
    Seperti orang kehilangan ingatan, semalam itu Sin
    lIong terus berlari sampai pada keesokan harinya,
    saking lelahnya, dia tersaruk-saruk di kaki
    Pegunungan Jeng-hoa-san, kadang-kadang
    tersandung kakinya dan jatuh menelungkup,
    bangun lagi dan lari pagi, terhuyung-huyung dan
    akhirnya, pada keesokan harinya, pagi-pagi dia
    terguling roboh pingsan di dalam sebuah hutan di
    lereng bagian bawah Pegunungan Jeng-hoa-
    san..Setelah siuman, anak kecil berusia lima tahun
    ini melanjutkan perjalanannya, dan beberapa hari
    kemudian
    tibalah dia di sebuah hutan penuh bunga karena
    kebetulan pada waktu itu adalah musim
    semi. Di sepanjang jalan mendaki pegunungan,
    kalau perutnya sudah mulai lapar, anak ini memetik
    buah-buahan dan makan daun-daunan, memilih
    yang rasanya segar dan tidak pahit
    sehingga dia tidak sampai kelaparan. Di dalam
    hutan seribu bunga itu Sin Liong terpesona, merasa
    seperti hidup di alam lain, di dunia lain. Tempat
    yang hening dan bersih, tidak ada seorang pun
    manusia. Kalau dia teringat akan manusia, dia
    bergidik dan menangis saking takut dan ngerinya.
    Dia telah menyaksikan kekejaman-kekejaman
    yang amat hebat.
    Bukan hanya kekejaman orang-orang yang
    merenggut nyawa ayah bundanya, yang memaksa
    ayah bundanya berpisah darinya dan mati
    meninggalkannya, akan tetapi juga melihat
    kekejaman puluhan orang tetangga yang menyiksa
    tiga orang itu sampai mati dan hancur
    tubuhnya, Dia bergidik dan ketakutan kalau teringat
    akan hal itu. Di dalam Hutan Seribu Bunga itulah dia
    merasakan keamanan, kebersihan, keheningan
    yang menyejukkan perasaan.
    Mula-mula Sin Liong tidak mempunyai niat untuk
    kembali ke kotanya karena ia masih terasa ngeri,
    tidak ingin melihat ayah bundanya yang
    berlumuran darah, tak ingin melihat mayat tiga
    orang pencuri yang rusak hancur. Ketika dia tiba di
    hutan Jeng-hoa-san itu dan melihat betapa tubuh
    dan pakaiannya ternoda darah yang baunya amat
    busuk, dia cepat mandi dan mencuci pakaian di
    anak sungai yang terdapat di hutan itu, anak sungai
    yang airnya keluar dari sumber, jernih dan sejuk
    sekali. Mula-mula memang dia tidak ingin pulang
    karena kengerian hatinya, akan tetapi setelah dua
    tiga bulan "Bersembunyi" di tempat itu, timbul rasa
    cintanya terhadap Hutan Seribu Bunga dan dia kini
    tidak ingin pulang sama sekali karena dia telah
    menganggap hutan itu sebagai tempat tinggalnya
    yang baru Di dekat pohon peak yang besar,
    terdapat bukit batu dan di situ ada guanya yang
    cukup besar untuk dijadikan tempat tinggal,
    dijadikan tempat berlindung dari serangan hujan
    dan angin. Gua ini dibersihkannya dan menjadi
    sebuah tempat yang amat menyenangkan.
    Demikianlah, anak ini tidak tahu sama sekali
    bahwa harta kekayaan orang tuanya yang tidak
    mempunyai keluarga dan sanak kadang lainnya,
    telah dijadikan perebutan antara para
    tetangga sampai habis ludes sama sekali Dengan
    alas an "mengamankan" barang-barang berharga
    dari rumah kosong itu, para tetangga telah
    memperkaya diri sendiri. Mereka ini tetap tidak
    tahu, atau tidak mengerti bahwa mereka telah
    mengulangi perbuatan tiga orang pencuri yang
    mereka keroyok dan bunuh bersama itu. Mereka
    juga melakukan pencurian,
    sungguhpun caranya tidak "sekasar" yang dilakukan
    para pencuri. Jika dinilai, pencurian yang dilakukan
    para tetangga dan "sahabat" ini jauh lebih kotor
    dan rendah daripada yang dilakukan oleh tiga
    orang pencuri dahulu itu, karena para pencuri itu
    melakukan pencurian dengan sengaja dan terang-
    terangan mereka itu adalah pencuri, tidak
    berselubung apa-apa, dan kejahatannya itu
    memang terbuka, sebagai orang-orang yang
    mengambil barang orang
    lain di waktu Si Pemilik sedang lengah atau tertidur.
    Namun, apa yang dilakukan oleh para tetangga itu
    adalah pencurian terselubung, dengan kedok
    "menolong" sehingga kalau dibuat takaran,
    kejahatan mereka itu berganda, pertama jahat
    seperti Si Pencuri biasa karena
    mengambil dan menghaki milik orang lain, ke dua
    jahat karena telah bersikap munafik,
    melakukan kejahatan dengan selubung "kebaikan".
    Demikianlah sampai dua tahun lamanya anak
    berusia lima tahun ini tinggal seorang diri di dalam
    Hutan Seribu Bunga. Sebagai putera seorang ahli
    pengobatan, biarpun ketika usianya baru lima
    tahun, sedikit banyak Sin Liong tahu akan daun-
    daun dan akar obat, bahkan sering dia ikut
    ayahnya mencari daun-daun obat di gunung-
    gunung.
    Setelah kini dia hidup seorang diri di dalam hutan,
    bakatnya akan ilmu pengobatan mendapat ujian
    dan pemupukan secara alam. Dia harus makan
    setiap hari itu untuk keperluan ini, dia telah pandai
    memilih dari pengalaman, mana daun yang
    berkhasiat dan mana yang enak,
    mana pula yang beracun dan sebagainya.
    Selama dua tahun itu, dengan pakaian cabik-cabik
    tidak karuan, sering pula dia terserang sakit dan
    dari pengalaman ini pula dia terserang sakit dan
    dari pengalaman ini pula dia dapat memilih daun-
    daun dan akar-akar obat, bukan dari pengetahuan,
    melainkan dari pengalaman.
    Mungkin karena tidak ada sesuatu lainnya yang
    menjadikan bahan pemikiran, maka anak ini dapat
    mencurahkan semua perhatiannya terhadap
    pengenalan akan daun dan akar serta
    buah dan kembang yang mangandung obat ini
    sehingga penciumannya amat tajam terhadap
    khasiat daun dan akar obat. Dengan menciumnya
    saja dia dapat menentukan khasiat apakah yang
    terkandung dalam suatu daun, bunga, buah
    ataupun akar Tidak kelirulah kata-kata
    orang bahwa pengalaman adalah guru terpandai.
    Tentu saja kata-kata itu baru
    terbukti.kebenarannya kalau seseorang memiliki
    rasa kasih terhadap yang dilakukannya itu.
    Dan memang di lubuk hati Sin Liong, dia
    mempunyai rasa kasih yang menimbulkan suka,
    dan suka ini menimbulkan kerajinan untuk
    mempelajari khasiat bunga-bunga dan daun-daun
    yang banyak sekali macamnya dan tumbuh di
    dalam Hutan Seribu Bunga itu.
    Selain mempelajari khasiat tumbuh-tumbuhan,
    bukan hanya untuk menjadi makanan sehari-
    hari akan tetapi juga untuk pengobatan, Sin Liong
    mempunyai kesukaan lain lagi yang timbul dari
    rasa kasihnya kepada alam, kasih yang
    sepenuhnya dan yang mungkin sekali timbul
    karena dia merasa hidup sebatangkara dan juga
    timbul karena melihat kekejaman yang
    menggores di kalbunya akan perbuatan manusia
    ketika ayah ibunya dan tiga orang pencuri itu
    tewas.
    Di tempat itu dia melihat kedamaian yang murni,
    kewajaran yang indah, dan tidak pernah melihat
    kepalsuan-kepalsuan, tidak melihat kekejaman.
    Rasa kasih kepada alam ini membuat dia amat
    peka terhadap keadaan sekelilingnya, membuat
    perasaannya tajam sekali sehingga dia dapat
    merasakan betapa hangat dan nikmatnya sinar
    matahari pagi, betapa lembut dan sejuk segarnya
    sinar bulan purnama sehingga tanpa ada yang
    memberi tahu dan menyuruh
    hampir setiap pagi dia bertelanjang mandi cahaya
    matahari pagi dan setiap bulan purnama dia
    bertelanjang mandi sinar bulan purnama. Tanpa
    disadarinya, tubuhnya telah menerima dan
    menyerap inti tenaga mujijat dari bulan dan
    matahari, dan membuat darahnya bersih,
    tulangnya kuat dan tenaga dalam di tubuhnya
    makin terkumpul di luar kesadarannya. Setelah
    keringat membasahi seluruh tubuh dan beberapa
    kali memutar tubuhnya yang duduk bersila di atas
    batu, kadang-kadang dadanya, Sin Liong turun dari
    batu itu, menghapus peluh dengan saputangan
    lebar, kemudian setelah tubuhnya tidak berkeringat
    lagi, setelah dibelai
    bersilirnya angin pagi, dia mengenakan lagi
    pakaiannya dan pergi mengeluarkan bunga, daun,
    buah dan akar obat dari dalam gua untuk dijemur
    dibawah sinar matahari. Inilah yang menjadi
    pekerjaannya sehari-hari, selain mencangkok,
    memperbanyak dan menanam tanaman-tanaman
    yang berkhasiat.
    Menjelang tengah hari, mulailah berdatangan
    penduduk yang membutuhkan obat. Di antara
    mereka terdapat pula beberapa orang kang-ouw
    yang kasar dan menderita luka beracun
    dalam pertempuran. Untuk mereka semua, tanpa
    pandang bulu, Sin Liong memberikan
    obatnya setelah memeriksa luka-luka dan penyakit
    yang mereka derita.
    Lebih dari lima belas orang datang berturut-turut
    minta obat dan yang datang terakhir adalah
    seorang laki-laki setengah tua bertubuh tinggi
    besar, dipunggungnya tergantung golok dan dia
    datang terpincang-pincang karena pahanya terluka
    hebat, luka yang membengkak dan
    menghitam. "Sin-tong, kau tolonglah aku..." Begitu
    tiba di depan gua dimana Sin Liong duduk dan
    memotong-motong akar basah dengan sebuah
    pisau kecil, laki-laki bermuka hitam dan
    bertubuh
     
Loading...

Share This Page