Penyembuhan Terhadap Jiwa Yang Sakit (Islam vesion)

Discussion in 'Health & Medical' started by widiyuningsih, Jul 30, 2016.

  1. widiyuningsih

    widiyuningsih Member

    Joined:
    May 9, 2016
    Messages:
    97
    Likes Received:
    8
    Trophy Points:
    8
    Sabtu ini saya terasa sangat bahagia, karena masih bisa berinteraksi dengan kawan semua langsung saja

    Seiring dengan dinamika perkembangan kehidupan modern yang semakin kompleks, maka perubahan psikis dalam diri manusia juga mengalami perubahan,

    utamanya dengan perkembangan mental atau jiwa seseorang...

    ... yang telah mengalami modernisasi kultur dan gaya hidup.

    Tekanan psikis atau gangguan metal (psychoses) yang melanda banyak masyarakat modern saat ini memunculkan wacana tentang cara atau alternatif untuk mengatasinya dengan berbagai terapi.

    Melalui kajian dimensi keagamaan, tulisan ini menguraikan tentang sebab-sebab terjadinya depresi mental yang mengarah pada ketidakserasian hidup dan berujung pada gangguan kejiwaan (sakit jiwa).

    Selain itu tulisan ini juga memberikan alternatif pemecahan masalah depresi mental melalui kajian ke-Islaman dengan tuntunan akhlak.

    Kata-kata Kunci: Depresi mental, Dimensi keagamaan dan Kehidupan modern.

    Seperti yang diakui oleh Zakiah Darajat bahwa ketenangan hidup, ketentraman jiwa atau kebahagiaan batin tidak banyak...

    .... tergantung kepada faktor-faktor luar; sosial, ekonomi, politik, adat kebiasaan dan sebagainya, malainkan lebih tergantung kepada cara dan sikap menghadapi faktor-faktor tersebut.

    Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap para pasien yang terganggu kesehatan mentalnya, ia menyimpulkan bahwa....

    ..... kesehatan mental yang terganggu dapat mempengaruhi keseluruhan hidup seseorang.

    Pengaruh itu adalah perasaan, pikiran, kelakuan, kesehatan badan, sedang yang tergolong penyakit jiwa (psychoses) adalah lebih berat lagi.

    Manusia yang serasi, selaras dan seimbang adalah merupakan jargon hidup bangsa Indonesia.

    Sejalan dengan ini adalah usaha untuk memperoleh hidup sehat dan layak: jiwa yang seimbnag, pribadi yang “integrated” dan kemampuan memecahkan segala problema hidup dengan percaya diri dan kepribadian yang solid.

    Sebab kesehatan adalah kondisi normal bagi seseorang dari terhindarnya gangguan jiwa (neorosis) dan penyakit jiwa (psychoses).

    Manusia demikian adalah manusia yang sehat secara jasmani maupun rohani lahir maupun batin.


    Pandangan Islam tentang Penyakit Jiwa

    Dalam perspektif Islam, penyakit jiwa sering diidentikkan dengan beberapa sifat buruk atau tingkah laku tercela (al-akhlaq al-mazmumah), seperti sifat tamak, dengki, iri hati, arogan, emosional dan seterusnya.

    Hasan Muhammad as-Syarqawi dalam kitabnya Nahw ‘Ilmiah Nafsi, membagi penyakit jiwa dalam sembilan bagian,...


    ... yaitu: pamer (riya’), marah (al-ghadhab), lalai dan lupa (al-ghaflah wan nisyah), was-was (al-was-wasah), frustrasi (al-ya’s), rakus (tama’), terperdaya (al-ghurur), sombong (al-ujub), dengki dan iri hati (al-hasd wal hiqd).

    Beberapa sifat tercela di atas ada relevansinya jika dianggap sebagai penyakit jiwa, sebab dalam kesehatan mental (mental hygiene)...

    ...sifat-sifat tersebut merupakan indikasi dari penyakit kejiwaan manusia (psychoses). Jadi pada penderitanya sakit jiwa salah satunya ditandai oleh sifat-sifat buruk tersebut.

    Riya’

    Seperti yang dijelaskan oleh As-Syarqawi,[7] bahwa dalam penyakit riya’ terdapat unsur penipuan terhadap dirinya sendiri dan juga orang lain, karena hakikatnya ia mengungkapkan sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya.

    Penyakit riya’ merasuk dalam jiwa seseorang dengan halus dan tidak terasa sehingga hampir tidak ada orang yang selamat dari serangan penyakit ini kecuali orang arif yang ikhlas dan taat.

    Dalam riya’ terhdap unsur-unsur kepura-puraan, penipuan, munafik, seluruh tingkah-lakunya cenderung mengharap pujian orang lain, senang kepada kebesaran dan kekuasaan.

    Over acting, menutup-nutupi kejelekannya dan seterusnya. Sifat yang demikian ini digambarkan dalam al-Qur’an surat an-Nisa’: 142 dan at-Taubah:67 dan juga hadits nabi:

    “Yang paling aku kuatirkan terhadap umatku adalah riya’ dan syahwat yang tersembunyi’.

    Islam memberikan terapi riya’ ini dengan cara mengikis nafsu syahwat sedikit demi sedikit dan menanamkan sifat merendahkan diri (tawadhu’) dengan melihat kebesaran Allah SWT.[8]

    Emosi/Marah

    Marah pada hakikatnya adalah memuncaknya kepanikan di kepala, lalu menguasai otak atau pikiran dan akhirnya kepada perasaan. Kondisi semacam ini seringkali sulit untuk dikendalikan.

    Lebih lanjut As-Syarqawi mengungkapkan, bahwa emosi marah akan menimbulkan beberapa pelampiasan, misalnya secara lisan akan memunculkan caci-makian, kata-kata kotor/keji dan secara fisik akan menimbulkan tindakan-tindakan destruktif. Dan jika orang marah tidak mampu melampiaskan tindakan-tindakannya di atas, maka dia akan berkompensasi pada dirinya sendiri dengan cara misalnya: merobek-robek pakaian, menampar mukanya sendiri, mencakar-cakar tanah, membanting perabot rumah tangga dan seterusnya seperti tindakan orang gila. Marah juga dapat berpengaruh pada hati seseorang, yaitu sifat dengki dan iri hati, menyembunyikan kejahatan, rela melihat orang lain menderita, cemburu, suka membuka aib orang lain dan seterusnya.[9]

    Atas dasar inilah maka nabi melarang orang yang sedang marah untuk melakukan putusan atau memutuskan sesuatu perkara sebagaimana sabdanya:

    “Seseorang jangan membuat keputusan diantara dua orang (yang berselisih) sementara ia dalam keadaan marah”.

    Al-Ghazali berpendapat, bahwa cara untuk menanggulangi kemarahan sampai batas yang seimbang dengan jalan mujahadah untuk kemudian menanamkan jiwa sabar dan kasih sayang.[10]

    Berkaitan dengan hal di atas, Usman Najati[11] berpendapat bahwa emosi marah yang menguasai seseorang dapat membuat kemandegan berpikir. Di samping itu energi tubuh selama marah berlangsung akan membuat orang siap untuk melakukan tindakan-tindakan yang akan disesali di kemudian hari, dengan jalan mengendalikan diri, sebab mengendalikan diri dari marah itu mempunyai beberapa manfaat:

    1. Dapat memelihara kemampuan berpikir dan pengambilan keputusan yang benar.

    2. Dapat memelihara keseimbangan fisik, karena mampu melindungi dari ketegangan fisik yang timbul akibat meningkatnya energi.

    3. Dapat menghindarkan seseorang dari sikap memusuhi orang lain, baik fisik maupun umpatan, sikap tersebut juga dapat menyadarkan diri untuk selalu berintrospeksi.

    4. Dari segi kesehatan, pengendalian marah dapat menghindarkan seseorang dari berbagai penyakit fisik pada umumnya.

    Dalam hal ini Nabi juga sangat memuji tindakan pengendalian diri terhadap emosi marah ini dan menganggapnya sebagai orang yang kuat, sebagaimana sabdanya:

    “Tidaklah orang dikatakan kuat itu adalah orang yang pandai bergulat, tetapi orang kuat adalah orang yang mampu menahan amarahnya”.

    Lalai dan Lupa

    Lalai dan lupa termasuk salah satu dari penyakit mental. Lupa oleh sebagian psikolog juga digambarkan sebagai persoalan yang telah dilalaui sebelumnya. Dan berdasarkan penelitian para ahli, bahwa penyebabnya antara lain adalah:

    a. Perbedaan kadar kemampuan seseorang di dalam menangkan dan mengingat sesuatu yang telah diketahui sebelumnya.

    b. Bahwa pda mulanya proses kelupaan akan terjadi secara drastis dan berangsur-angsur.[12]

    c. Banyaknya informasi yang diterima akibatnya terjadi inferensi informasi.[13]

    Proses kelupaan juga sangat erat kaitannya dengan waktu dan konsentrasi seseorang terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi. Sebagian psikolog berpendapat, bahwa seseorang yang terlalu banyak mengurusi persoalan-persoalan yang rumit, maka akan menyebabkan terjadinya proses kelupaan terhadap sesuatu yang telah diketahui sebelumnya. Oleh karena itu dianjurkan seseorang tidak terlalu memforsir diri. Dan hendaknya menyisihkan sebagian waktunya untuk beristirahat (rekreasi, refresing). Daya tangkap seseorang, tidak selmanya menjamin kemampuan ingatan seseorang, sebab secara internal terdapat faktor-faktor yang dapat menghalangi seseorang untuk mengingat sesuatu, seperti rasa takut yang mencekam dan adanya interferensi dan seterusnya.[14]

    Banyaknya informasi dan kegiatan yang menumpuk sebelumnya membuat seseorang semakin sulit untuk mengingat materi-materi yang dipelajari kemudian. Sementara jika informasi terhadap materi yang baru relatif lebih baik jika informasi dan kegiatan lebih sedikit. Hal ini terbukti pada anak yang lebih mampu mengingat secara mendetail berbagai peristiwa pada masa lalu daripada orang dewasa.[15]

    Di sisi lain lupa merupakan sifat asal (tabiat) manusia. Tabiat inilah yang kadang-kadang membuat manusia lupa akan hal-hal yang penting, lalai akan Allah swt, dan perintah-Nya, sementara setan selalu menggodanya. Dari aspek ini kita melihat keberhasilan iblis dalam menggoda Adam As.[16]

    Was-was

    Para ulama memandang bahwa penyakit was-was merupakan akibat dari bisikan hati dan adanya angan-angan keduniaan yang didasarkan pada hawa nafsu dan kesenangan duniawi. Penyakit was-was juga merupakan penyakit yang muncul akibat gangguan setan. Setan mengobarkan hawa nafsu dan membuat seseorang meragukan agamanya. Lupa daratan, cenderung melakukan perbuatan keji.[17]

    Dalam menanggulangi penyakit di atas, nampaknya metode yang ditempuh oleh “psikologi Islam” berbeda dengan yang ditempuh oleh psikologi modern. Islam memandang bahwa sumber utama dari penyakit was-was adalah setan. Oleh sebab itu jalan keluarnya adalah terapi berzikir kepada Allah.

    As-Samarqandi, seperti yang dikutip oleh As-Syarqawi[18] menyebutkan bahwa setan senantiasa berusaha menggoda dang memperdaya manusia. Jalan yang ditempuhnya adalah antara lain: melalui sifat su’uzzan baik kepada Allah maupun kepada manusia, melalui kemewahan hidup, melalui sikap menghina orang lain, hasut, dengki, bakhil, riya’, kikir, tamak, dan sebagainya. Menurut as-Samarqandi cara mengatasi penyakit ini adalah dengan cara memperkuat keyakinan (iman) kepada Allah dan berpuasa diri (qana’ah) akan karunia dan nikmat yang telah diberikan-Nya.

    Frustrasi

    Frustrasi (al-Ya’s) menurut as-Syarqawi adalah putus harapan dan cita. Munculnya perasaan ini biasanya ketika seseorang berhadapan dengan macam-macam cobaan dan persoalan hidup yang bertolak belakang dengan hawa nafsunya. Sifat tersebut sangat dicela oleh agama, karena menjadikan seseorang statis, kehilangan etos kerja, acuh-tak acuh terhadap lingkungan, selalu melamun, kehilangan kepercayaan baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain.[19]

    Sebagaimana dalam al-Qur’an, Allah swt melarang manusia berputus asa akan rahmat-Nya, sebagaimana firman-Nya:

    “Jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah, sesungguhnya tiada berputus ada sari rahmat Allah kecuali kaum yang kafir”. (Q.S. Yusuf:87).

    Dalam mental hygiene disebutkan: bahwa munculnya perasaan frustasi disebabkan oleh kegagalan seseorang dalam mencapai tujuan, tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan yang diinginkan atau terhambatnya usaha dan perjuangan di dalam mencapai suatu tujuan[20] dan bandingkan dengan Zakiat Darajat.[21]

    Rakus (Tamak)

    Tamak atau rakus adalah keinginan yang berlebih-lebihan yang didasari oleh kemauan hawa nafsu yang tidak terkendali.jika seseorang mengikuti hasa nafsunya secara belebihan, maka selama ia bersikap tamak dan tidak pernah merasa puas dengan apa yang ia terima, selama itu pulaia terperangkap oleh angan-angan dunia yang tidak pernah terwujudkan. Menurut as-Syarqawi, cara membendung sifat tamak ini ad lah dengan membiasakan diri dengan zuhud dan qana’ah sehingga dengan demikian ia akan bebas dari perbuatan hawa nafsu.[22]

    Terpedaya

    Terpedaya (al-Ghurur) merupakan suatu jenis penyakit mental yang diakibatkan oleh salah persepsi tentang kehiduppan duniawi dan juga lupa tentang penciptanya.menurut as-Asyarqawi keterpedayaan dan salah persepsi berkisar kepda dua hal:

    a. Tentang kehidupan duniawi

    Pemahaman yang tidak benar terhdap kehidupan duniawi dimaksudkan salah, bahwa dunia dianggap segala-galanya, dunia merupakan tujuan akhir, harapan dan cita-citanya. penderita penyakit ini selalu meragukan kehidupan akhrat, akhirat dianggap ilusi, tidak kekal, sementara kehiudupan dunia dianggapnya segala-galanya.[23] Persepsi yang demikian ini dikenal dalam filsafat sebagai penganuthedonisme.

    Menurut Islam, untuk menggulangi penyakit di atas adalah dengan terapi iman, sebab dengan iman seseorang akan menyadari bahwa kehidupan dunia sesungguhnya bersifat sementara (Ibid). Sebagaimana Allah berfirman dalam beberapa ayat-Nya, bahwa dunia ini hanyalah permainan dan senda-gurau saja (lihat: Q.S. Al-An’am: 32, Al-Ankabut: 64, Al-Hadid: 20, Muhammad: 36).

    b. Tentang kepercayaan kepada Allah termasuk dalam kategori terpedaya adalah kesalahan persepsi terhdap Allah (jika memang benar-benar ada) maka ia akan memberikan kenikmatan di akherat, mereka menganalogikan kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat. Persepsi di atas jelas tidak benar, sebab adanya kedudukan, kenikmatan, harta dan kedudukan yang diperoleh seseorang tidak selamanya merupakan indikasi keridaan Tuhan, melainkan sebaliknya sebagai ujian dan cobaan.[24]

    Dari sisi lain sifat terpedaya juga sering merasuk ke dalam jiwa orang yang berkeyakinan, bahwa dengan sifat rahman rahim-Nya Allah akan mentolerir perbuatan-perbuatan hamba-Nya yang sengaja melalaikan perintah-perintah-Nya. Dengan demikian, penderita penyakit ini cenderung selalu mengabaikan perintah-perintah Allah dengan tidak menyadari bahwa sesungguhnya ia terjebak dalam persepsi yang keliru.

    Rasa Bangga Diri (‘Ujub)

    Perasaan bangga diri (‘Ujub) sedikit berbeda dengan perasaan sombong (kibr). Menurut al-Ghazali, kibr merupakan perasaan yang muncul pad diri seseorang , di mana ia menganggap dirinya lebih baik dan lebih utama dari orang lain. Sedangkan ‘ujub adalah perasaan bangga diri yang dalam penampilannya tidak memerlukan atau melibatkan orang lain. ‘Ujub lebih terfokus kepada rasa kagum terhadap diri sendiri, suka membanggakan dan menonjolkan diri sendiri. Kadang-kadang pada sebagian orang emosi ini merupakan tingkah laku yang dominan dalam kepribadian dan dapat menimbulkan sikap sombong, angkuh serta merendahkan orang lain.[25]

    Penilaian yang tinggi terhdap suatu pemberian, sikap yang selalu mengingat-ingat pemberian dan sikap pamrih terhdap perbuatan yang dilakukan merupakan hal-hal yang termasuk kategori ‘ujub[26]. Menurut As-Syarqawi,[27] bahwa ‘ujub merupakan perasaan senang yang berlebihan. Kemunculannya disebabkan adanya anggapan bahwa si pasien merupakan orang yang paling baik dan paling sempurna di dalam segalanya. Sikap ‘ujub adalah penyakit mental yang sangat berbahaya, sebab eksistensinya membuat hati menjadi beku di dalam menerima kebaikan, memperingan dosa dan selalu menutup-nutupi kesalahan, sebagaimana firman Allah swt.:



    “Dan apabila Kami memberikan nikmat kepada manusia ia berpaling dan menjauhkan diri, tetapi apabila ia ditimpa malapetaka maka ia banyak berdo’a”. (Q.S. Fusilat: 51).

    Dari sisi lain orang yang bangga dengan dirinya telah menyadari akan kepribadiannya dan mengerti akan kesalahannya, tetapi tidak tertarik untuk kembali kepada kebenaran, melainkan bersikap putus asa, tetap ingkar dan bahkan “ogah” melakukan kebajikan dan pengabdian kepada Allah.

    Iri Hati dan Dengki

    Iri hati atau juga disebut dengki merupakan gejala-gejala luar yang kadang-kadang menunukkan perasaan dalam hati. Akan tetapi gejala-gejala tersebut tidak mudah untuk diketahui, sebab seseorang kan berusaha semaksimal mungkin menyembunyikan gejala-gejala tersebut.[28]

    Secara umum dapat dikatakan, bahwa rasa iri muncul akibat kegagalan seseorang dalam mencapai sesuatu tujuan. Oleh sebab itu emosi ini sangat kompleks, dan ada dasarnya terdiri atas rasa ingin memiliki, rasa marah, dan rasa rendah diri.

    Meski demikian, tidak dapat dikatakan, bahwa rasa iri sebagai kumpulan dan rasa marah, rasa ingin memiliki dan rasa rendah diri, akan tetapi lebih dari itu adalah memiliki karekteristiknya sendiri. Dan di antara gejala-gejala yang nampak adalah marah dengan segala bentuknya mulai dari memukul, mencela, menghina, membuka rahasia orang lain, memberontak, membisu, menyendiri, mogok makan, sangat sensitif, dan seterusnya.[29]

    As-Syarqawi[30] mejelaskan bahwa emosi ini secara garis besar diklasifikasikan menjadi dua macam:

    a. Iri yang melahirkan kompetisi sehat (al-munafasah);

    b. Iri yang melahirkan kompetisi tidak sehat (al-hiqd wal hasad).

    Iri jenis pertama merpuakan kompetisi sehat untk meniru hal-hal positif yang dimiliki orang lain tanpa didasari oleh interes jahat dalam rangka “fastabiqul khairat”. Iri dalam jenis ini merupakan sesuatu yang diharuskan bagi stiap muslim berdasarkan firman Allah:

    “Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu diberitahukannya kepadamu apa yang telah kamu peraselisihkan”. (Q.S. al-Maidah: 48).

    Sementara iri dalam jenis kedua lebihdidasari oleh rasa benci terhdap apa-apa yang dimiliki oleh orang lain, baik yang berkaitan dengan materi maupun yang berhubungan dengan jabatan/kedudukan. Iri dalam kategori ini, menurut As-Syarqawi (Ibid) cenderung memunculkan sikap antipati dan bahkan melahirkan sikap permusuhan terhadap orang lain. Kemunculannya lebih disebabkan oleh rasa sombong, bangga, riya’, dan rasa takut kehilangan kedudukan.

    Secara umum untuk mengatasi penyakit jiwa akibat tekanan mental, atau penyakit jiwa yang tergolongunorganik ini adalah dengan terapi pendidikan akhlak sejak dini, serta menciptakan keluarga dalam rumah tanga sakinah.

    Oleh sebab itu dalam Islam pendidikan akhlak bagi anak sangat ditekankan. Anak diajari untuk santun, menghargai kepada orang lain dan senantiasa berbuat kebajikan. Di sini lantas orang tua pun dituntut utnuk berperan dalam keluarga, menjadi teladan bagi putra-putrinya.

    Bukankah nabi diutus untuk memperbaiki dan menyempurnakan akhlak?

    Mengapa Islam juga melarang minum-minum keras, mabuk-mabukan, berbuat zina, homo seksual, dan menyuruh memelihara kebersihan dan kesehatan?

    Ketahuilah bahwa yang demikian itu (mabuk-mabukan, zina, dan lebih dari itu adalah merusak diri sendiri dan tatanan sosial (destruktif), mengakibatkan penyakit dan seterusnya penyakit tersebut dalam Mental Hygiene disebut sebagai penyakit organik yang amat membahayakan. Untuk ini lihat (Q.S. Al-Maidah: 90 dan Al-Isra’: 32).

    JANGAN ASAL COPAS TANPA SUMBER !!!
     
    Last edited by a moderator: Jul 30, 2016
  2. imanjagoa

    imanjagoa Member

    Joined:
    Mar 29, 2016
    Messages:
    459
    Likes Received:
    45
    Trophy Points:
    28
    makasih atas pencerahannya..
     
  3. katon

    katon Active Member

    Joined:
    Nov 19, 2015
    Messages:
    1,217
    Likes Received:
    91
    Trophy Points:
    48
    Banyak sekali penjelasanya, saya sampai lompat2 ngebacanya*senang*makasih penjelasannya
     
  4. widiyuningsih

    widiyuningsih Member

    Joined:
    May 9, 2016
    Messages:
    97
    Likes Received:
    8
    Trophy Points:
    8
    Semoga nambah ilmu dan juga nambah berkah
     
Loading...

Share This Page