Prabowo (kiri), Xi Jinping (kanan). Foto: DW.com
Indonesia resmi menjadi anggota BRICS pada hari Senin (6/1/2025), menambahkan negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan populasi terbanyak di kawasan tersebut. Dengan bergabungnya Indonesia, BRICS berharap untuk memperkuat posisinya sebagai alternatif dari kelompok G7 yang dipimpin oleh Amerika Serikat. Penguatan kerja sama antara negara-negara Global South menjadi fokus utama bagi Jakarta dalam forum ini, memastikan bahwa suara dan aspirasi dari negara-negara tersebut terwakili dalam proses pengambilan keputusan global.
Indonesia berkomitmen untuk memberikan kontribusi dalam agenda yang dibahas di BRICS, termasuk dalam upaya mempromosikan ketahanan ekonomi, kerja sama teknologi, dan kesehatan masyarakat, menurut juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia, Rolliansyah Soemirat.
Perubahan Kepemimpinan dan Arah Kebijakan
Keputusan untuk bergabung dengan BRICS ini juga mencerminkan perubahan dalam pemerintahan Indonesia. Mantan Presiden Joko Widodo menolak masuk ke BRICS pada 2023, mengatakan bahwa Jakarta masih mempertimbangkan pro dan kontra. Namun, Presiden baru Prabowo Subianto tidak memiliki kekhawatiran serupa dan melihat peluang baru dalam kerjasama internasional.
Pergerakan Jakarta ke arah BRICS menunjukkan bahwa banyak negara di Global South kini semakin bersedia untuk menjalin hubungan lebih dekat dengan Beijing dan Moskow, terutama di tengah ketidakpastian politik dan ekonomis yang ditimbulkan oleh perang di Ukraina dan konflik di Timur Tengah. Lebih dari 30 negara, termasuk negara-negara Asia Tenggara seperti Thailand, Malaysia, dan Vietnam, telah menyatakan minat atau secara resmi mengajukan permohonan keanggotaan BRICS.
Menuju Dunia Multipolar
Perkembangan BRICS yang menjadi blok geopolitik yang lebih besar juga dipicu oleh kebangkitan China sebagai kekuatan ekonomi dan politik global. Beijing sering menyerukan orde dunia multipolar, yang berarti struktur keamanan dan infrastruktur keuangan yang tidak didominasi oleh AS. Dalam konteks ini, BRICS menjadi simbol lanskap multipolar yang berkembang, di mana anggota anggotanya berdiskusi tentang dominasi dolar AS dan perlunya alternatif kerangka keuangan di antara negara-negara.
Namun, penting untuk dicatat bahwa BRICS bukanlah klub yang secara eksplisit anti-Barat. Indonesia, sama seperti anggota pendiri BRICS, India, memiliki hubungan baik dengan negara-negara Barat dan tidak akan mengambil posisi dalam konfrontasi geopolitik antara AS dan saingannya.
Indonesia Sebagai Kekuatan Penyeimbang
Indonesia tidak berencana untuk menjauh dari Barat, seperti yang dinyatakan oleh M. Habib Abiyan Dzakwan, seorang peneliti di CSIS Indonesia. Jakarta berusaha memperluas arena perannya di kancah internasional. Melihat peran strategis Indonesia sebagai kekuatan menengah, keanggotaan di BRICS berpotensi memberikan Indonesia leverage dalam tatanan global.
Para ahli lain juga berpendapat bahwa Indonesia dapat berfungsi sebagai penyeimbang dalam BRICS, sambil tetap mempertahankan hubungan yang baik dengan AS dan Uni Eropa. Keanggotaan di BRICS akan menguntungkan posisi Indonesia sebagai pemimpin ASEAN dan meningkatkan kredensial multilateralnya di saat negara-negara Barat semakin terfokus pada unilateralism.
Kesimpulan
Dengan berpartisipasi dalam BRICS, Indonesia berpeluang untuk memainkan peran kunci dalam tatanan internasional yang semakin kompleks dan multipolar. Meskipun bergantung pada hubungan yang baik dengan negara-negara Barat, keanggotaan di BRICS menyediakan platform baru untuk memperkuat pengaruh Indonesia di dunia. Dengan sikap non-blok yang konsisten, Indonesia dapat menjadi kekuatan penyeimbang yang berperan dalam menjaga stabilitas dan kerjasama global.