Kebijakan baru diusulkan untuk menghadapi ancaman populasi menua dan kekurangan tenaga kerja.
Pemerintah Vietnam dikabarkan sedang mempertimbangkan pelonggaran kebijakan dua anak setelah tingkat kelahiran di negara itu anjlok ke rekor terendah. Langkah ini diambil untuk mencegah krisis demografi akibat populasi yang semakin menua dan ketimpangan angka kelahiran antarwilayah.
Data resmi menunjukkan tingkat fertilitas total Vietnam turun menjadi 1,91 anak per perempuan pada 2024—jauh di bawah ambang batas 2,1 yang diperlukan untuk menjaga stabilitas populasi. Para ahli memperingatkan bahwa tren ini berisiko memicu kelangkaan tenaga kerja dan tantangan sosial-ekonomi dalam beberapa dekade mendatang.
Ketimpangan Regional dan Ancaman Krisis
Terdapat disparitas signifikan dalam angka kelahiran antarprovinsi. Kota Ho Chi Minh mencatat tingkat fertilitas terendah (1,39), sementara Provinsi Ha Giang di utara memiliki angka tertinggi (2,69).
Nguyen Thi Lien Huong, Wakil Menteri Kesehatan Vietnam, menekankan perlunya tindakan cepat. "Kami perlu mendorong keluarga memiliki lebih banyak anak dengan mengurangi sanksi bagi yang melahirkan lebih dari dua anak dan memberikan insentif finansial," ujarnya, seperti dilaporkan Vietnamnet Global.
Sejarah Kebijakan Dua Anak
Kebijakan dua anak pertama kali diterapkan pada 1960-an untuk mengendalikan ledakan penduduk di daerah pedesaan. Aturan ini sempat dicabut pada 2003, tetapi dihidupkan kembali pada 2008. Namun, dengan penurunan kelahiran yang terus berlanjut sejak 2023, pemerintah kini berencana mengembalikan hak reproduksi sepenuhnya kepada pasangan.
Tren Serupa di Asia
Vietnam bergabung dengan negara-negara Asia seperti Korea Selatan, Jepang, dan Tiongkok yang juga menghadapi krisis demografi. Di Korea Selatan, banyak perempuan mengeluhkan beban finansial, tekanan karir, dan tanggung jawab pengasuhan yang timpang sebagai alasan menunda atau menghindari memiliki anak.
Jepang mencatat jumlah kelahiran terendah dalam 125 tahun pada 2024 (720.988 bayi), turun 5% dari tahun sebelumnya. Sementara itu, Tiongkok mengalami penurunan pernikahan sebesar 20% pada 2023—angka terburuk dalam sejarah—meski pemerintah gencar mengampanyekan pernikahan dan keluarga besar.
Proyeksi dan Tantangan ke Depan
Jika tren ini berlanjut, Vietnam diprediksi kehilangan masa keemasan populasi (di mana jumlah usia produktif lebih besar daripada dependen) pada 2039. Faktor seperti biaya hidup tinggi, ketidakpastian ekonomi, dan perubahan budaya yang mementingkan kualitas hidup disebut sebagai penyebab utama penurunan kelahiran.
Pemerintah Vietnam kini berupaya merancang strategi jangka panjang, termasuk program subsidi pendidikan, perumahan, dan layanan kesehatan, untuk mendorong generasi muda membangun keluarga. Namun, keberhasilan kebijakan ini masih dipertanyakan mengingat kompleksnya akar masalah demografi di era modern.